Senin, 05 Desember 2011

KEHILANGAN... (insyaAlloh akan digantikan dg yang lebih baik)

Bukan berarti aku tak cinta 
Justru karna terlalu cinta maka kuputuskan untuk mundur dari jalan cerita 
Karna yang kutahu aku bukanlah asa yang hendak kau cipta 
Untuk mengarungi bahtera dan berlayar bersama menggapai cita 
Telah hadir sebuah nama yang sering kau sebut dalam doa untuk kau pinta 
Seorang bidadari yang memang layak untuk kau cinta 
Harus ku terima kenyataan bahwa hatimu kini telah bertahta Sungguh … 
Tak berani ku berangan apalagi mencinta Karna hanya kan melukis duka 
Jika kau Tanya, apa hatiku terluka? 
Sangat dan bahkan sangat terluka, hingga melewati ambang batas rasa 
Namun mengapa aku harus merasa kehilangan, jika aku tak pernah memiliki rasa 
Telah cukup lama ku diam, memendam rasa dalam kegelapan 
Rasa yang selalu menyapa dan berujung pada kerinduan yang mendalam 
Selalu mengusik dan berbisik dalam kegalauan 
Mungkin hanya sepintas lalu yang tak berarti apa-apa bagimu 
Namun meninggalkan bekas yang dalam bagiku… 
Rasa ini suatu saat kan pergi berlalu 
Membawa kenangan pergi menjauh 
Hingga Tak dapat ku menemukanmu meski di ujung waktu 
Biarlah kusimpan rasa yang “belum tepat” ini untuk seseorang yang tepat 
Meski seseorang itu bukanlah engkau wahai sahabat..^_^ 
Kini yang kulakukan hanyalah bertaubat dan menemukan obat agar tak lagi berharap padamu yang hanya membuat cemas..

makan ngga makan yang penting nikah.. :)

oleh : JA
 Cuma Pengen share aja buat yang lagi galau ngomongin soal pasangan hidup, hmmm.. semoga bermanfaat. Menikah bukanlah hal yang sulit, justru mudah, indah dan insyaAllah penuh berkah. Menikah itu mudah, toh hanya dengan ijab-qabul, saksi, dan rukun lainnya bisa terlaksana. Menikah itu indah, buktinya tampak wajah lega dan bahagia pasangan saat acara pernikahan. Menikah itu berkah, karena ada banyak orang yang bisa menikamti hidangan yang kita sajikan, gratis pula.. begitukah? Gak salah memang, tapi gak se-simple itu juga.. banyak yang acara pernikahannya ramai, tak kemudian keramaian lebih saat pasangan itu cerai. Ya toh? Tahapan yang paling penting sebelum sampai pelaminan, adalah Memilih Pasangan Hidup. Seorang pria cenderung memilih calon pasangan yang cantik. Hal ini tidak salah, justru baik. Namun, bukankah kecantikan itu akan memudar. Juga sebaliknya, seorang wanita memilih yang tampan, dan ketampanan pun juga kan luntur. Atau, pasangan yang mapan dan memiliki harta yang banyak. Padahal setiap keping uang kita, hanyalah titipan, pasti kan diambil kembali. Atau, memilih pasangan karena cinta. Ya, cinta memang penting. Tapi, hidup berumah tangga bukan hanya setahun, atau dua tahun. Melainkan selamanya sampai akhir hayat, dan cinta itu bisa naik juga turun. Tak stabil. Maukah pasangan hidup kita ada disamping kita saat cinta-nya turun? Dengan dalih atas nama cinta bukan berarti pernikahan menjadi sebuah keuntungan sesaat yang merugikan salah satu pihak. Membohongi pasangan dengan alasan takut menyakiti orang yang dicintai bukanlah sebuah alasan yang tepat. Lalu apa sebenarnya yang harus diutamakan dalam memilih pasangan? Bukan berarti melupakan kecantikan, harta dan kekayaan, juga cinta. Tapi, satu hal yang menjadikan hidup berpasangan bisa bertahan adalah Komitmen. Carilah pasangan hidup yang mau ber-Komitmen dengan kita. Rela tuk bersama saat sedih dan senang, dalam segala kondisi. Walau wajah tak lagi cantik atau tampan, walau harta hanya tinggal beberapa keping uang logam, tak peduli beratnya rintangan. Kalau dengan landasan Komitmen, semua itu pasti kan berlalu. Pernikahan adalah sebuah komitmen, ada aturan yang mengikat. Landasan cinta menuntut agar para pelakunya rela dan senang hati mengesampingkan kepentingan pribadi demi tercapainya ikrar dan tujuan bersama. Kepentingan bersama untuk meraih kebahagiaan. Pentingnya sebuah Komitmen hendaknya menjadi modal utama kita dalam memilih pasangan hidup kelak. Lalu, bagaimana cara mengetahui Komitmen calon pasangan kita? Satu cara untuk melihat betapa besar calon pasangan kita memegang teguh sebuah Komitmen adalah dengan melihat ketekunannya dalam beribadah. Bukankah tuk mendirikan shalat lima waktu juga butuh komitmen yang tinggi. Bukankah tuk shaum juga butuh Komitmen. Dan hal lainnya, sedekah butuh Komitmen, baca Qur’an juga butuh Komitmen, silaturahim juga butuh Komitmen. Kalau calon pasangan kita sudah melakukan hal itu semua dengan baik, boleh jadi dialah calon yang terbaik untuk kita. Dan jangan lupa, saat akan menjelang Khitbah, tanyakan kembali padanya tentang Komitmen-nya dalam menjalani kehidupan bersama kelak. Lihat jawaban yang ia berikan, dan cara menjawabnya. Terakhir, serahkan semua pada Allah, yang maha Kuasa atas segala sesuatu. Dirikanlah shalat Istikharah, dan mintalah petunjuk tuk diberikan yang terbaik. Ingat! Semua yang terbaik untuk kita, hanya Allah yang tahu. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut pandangan-Nya. nb. khusus bt yg dh nisobb,,he, mw nikah,,tunggu apalagi? nunggu kaya? sampai kapan sih bisa kaya? nikah aja,pasti Allah beri kekayaan..(An Nuur : 32) takut g bisa ngasi makan? nikah ajja,,Allah yg bakal ngasi makan..(hud : 6) meraaasa masih miskin?? nikah ajja,,daripada miskin sendiri, mending miskin berdua..hehe

Selasa, 09 Agustus 2011

HP ku malang HP ku sayang..(part 1)

hmm... sahabat, mw berbagi cerita lg nih, memang bukan cerita yang penting, tp semoga saja ada potongan hikmah yang bisa di ambil dari kisah ini..

akhir sya'ban 1432 H, ya sekitar 2 pekan yang lalu lah.. aku baru ada acara di solo, kebetulan kami yang notabene wanita tangguh (didelok seko endi kuwi..???) biasalah mengendarai sepeda motor solo-semarang... mantap jaya..!!!lanjutkan!!

inti ceritanya buka ttg perjalanan kami, tp lebih pada tragedi berdarah yang sy alami,, *www.lebay-pisan.net
sebelum smpe ke kediaman sy di smg, sy mengantar mba pulang dulu. setelah sampai rumah mba, sy buka hp.. ada (11 pesan masuk), biasalah orang sok peting..hhihi
belum smpat tk baca semuanya, saya melanjutkan perjalanan..dan ini kecerobohan ku yang kesekiaan kali,,hmmm..naruh benda di saku jaket.. *jan2, kapan berubahnya antum ki??
hpnya tak taruh di saku luar jaket, padahal ada saku dalam.. *mbuh ki, novi2..aku jg gemes sama diriku sendiri.

kalau sahabat tau jalan2 di semarang itukan naik turun gatu ya..??ap lagi rumah saya di puncak semarang..hhoho, berlebihan dalam membahasakan.
sudah hampir di puncak, tangan merogoh saku..ternyata, my hp..??whre are u..?? ngerem mendadak.. :(( tak cari di tas ga ad.. kondisi sy saat itu sudah capeknya pake bgt, bolak-balik smg-solo didepan..
pasrah sj, pulang ke kost..di kost ga ad orang, jd ga ad hp yang buat mc hpku..hiks.. *beneran lho, sy yg notabene gampang nangis, nangis juga untk masalah ky gini, bukan krn hpnya sih tp krn sudah capek masih suruh ikhtiar mencari hp..hmmm

sy kembali ke rumah mba, mba mc hp tp sudah nda aktif..yooweess..belum rizkinya..
sy kembali ke kost dengan wajah mesake bgt karena terlalu capek.. sy langsung rebahan, ga peduli..karepe meh ketemu alhamdulillah ga ya beli lagi.. *gayane rha duwe duit wee..

dikost cuma ada saya dan 2 bodyguaard, maklum karena mereka mb2..jd serasa pelindung sy..
jam 2 malam, mba bangunin sy.. beliau bilang kalau hp sy aktif dan sudah tahu rumah penemunya.. *spt sedang mimpi.. nyawanya belum kumpul.. sy cuma oke mba besok qt kesana..


hikmahnya ada di lanjutan kisahnya.. oke.. :D

kriteria jilbab syar'i seorang muslimah..

Hijab syar’i bagi seorang wanita muslimah ketika keluar rumah setelah memakai gamis (baju panjang) adalah khimar (kerudung penutup kepala, leher, dan dada), dan jilbab (baju setelah gamis dan khimar yang menutup seluruh badan wanita/abaya). Yang penanya kenakan sekarang-wallahu a’lam- adalah khimar yang tercantum dalam firman Allah ta’ala:

(وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ )(النور: من الآية31)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke juyub (celah-celah pakaian) mereka.” (Qs. 24:31)

Berkata Ath-Thabary rahimahullahu:

وليلقين خُمُرهنّ …على جيوبهنّ، ليسترن بذلك شعورهنّ وأعناقهن وقُرْطَهُنَّ

“Hendaknya mereka melemparkan khimar-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher , dan anting-anting mereka.” (Jami’ul Bayan 17/262, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:

يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع

“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)

Lihat keterangan yang semakna di kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Baghawy, Tafsir Al-Alusy, Fathul Qadir dll, ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31.

Dan kitab-kitab fiqh seperti Mawahibul Jalil (4/418, cet. Dar ‘Alamil Kutub), Al-Fawakih Ad-Dawany (1/334 cet. Darul Kutub Al-’Ilmiyyah), Mughny Al-Muhtaj (1/502, cet. Darul Ma’rifah) dll.

Demikian pula kitab-kitab lughah (bahasa) seperti Al-Mishbahul Munir (1/248, cet. Al-Mathba’ah Al-Amiriyyah), Az-Zahir fii ma’ani kalimatin nas (1/513, tahqiq Hatim Shalih Dhamin), Lisanul ‘Arab hal:1261, Mu’jamu Lughatil Fuqaha, dll.

Yang intinya bahwa pengertian khimar di dalam surat An-Nur ayat 31 adalah kain kerudung yang digunakan wanita untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka. Sementara itu wajib bagi wanita muslimah mengenakan jilbab setelah mengenakan khimar ketika keluar rumah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala:

(يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً) (الأحزاب:59)

Artinya:” Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. 33:59)

Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan jilbab, ada yang mengatakan sama dengan khimar, ada yang mengatakan lebih besar, dll (lihat Lisanul Arab hal: 649). Dan yang benar –wallahu a’lamu- jilbab adalah pakaian setelah khimar, lebih besar dari khimar, menutup seluruh badan wanita.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:

والجلباب هو: الرداء فوق الخمار

“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)

Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:

وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.

“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)

Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:

و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن

“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)

Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:

الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب

adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu:

فقد قال غير واحد من أهل العلم إن معنى : يدنين عليهن من جلابيبهن : أنهن يسترن بها جميع وجوههن

، ولا يظهر منهن شيء إلا عين واحدة تبصر بها ، وممن قال به ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبيدة السلماني وغيرهم

“Beberapa ulama telah mengatakan bahwa makna ” يدنين عليهن من جلابيبهن” bahwasanya para wanita tersebut menutup dengan jilbab tersebut seluruh wajah mereka, dan tidak nampak sesuatupun darinya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat, diantara yang mengatakan demikian Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubaidah As-Salmany dan lain-lain.” (Adhwa’ul Bayan 4/288) Oleh karena itu hendaknya penanya melengkapi busana muslimahnya dengan jilbab setelah mengenakan khimar.

Datang dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah:

والمشروع أن يكون الخمار ملاصقا لرأسها، ثم تلتحف فوقه بملحفة وهي الجلباب؛ لقول الله سبحانه: سورة الأحزاب الآية 59 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ الآية.

“Yang disyari’atkan adalah hendaknya khimar menempel di kepalanya, kemudian menutup di atasnya dengan milhafah, yaitu jilbab, karena firman Allah ta’alaa dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/176)

Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:

فالحق الذي يقتضِيه العمل بما في آيتي النّور والأحزاب ؛ أنّ المرأة يجب عليها إذا خرجت من دارها أنْ تختمر وتلبس الجلباب على الخمار؛ لأنّه كما قلنا : أسْتر لها وأبعد عن أنْ يصف حجم رأسها وأكتافها , وهذا أمر يطلبه الشّارع … واعلم أنّ هذا الجمع بين الخمار والجلباب من المرأة إذا خرجت قد أخلّ به جماهير النّساء المسلمات ؛ فإنّ الواقع منهنّ إمّا الجلباب وحده على رؤوسهن أو الخمار , وقد يكون غير سابغ في بعضهن… أفما آن للنّساء الصّالحات حيثما كنّ أنْ ينْتبهن من غفلتهن ويتّقين الله في أنفسهن ويضعن الجلابيب على خُمرهن

“Maka yang benar, sebagai pengamalan dari dua ayat, An-Nur dan Al-Ahzab, adalah bahwasanya wanita apabila keluar dari rumahnya wajib atasnya mengenakan khimar dan jilbab di atas khimar, karena yang demikian lebih menutup dan lebih tidak terlihat bentuk kepala dan pundaknya, dan ini yang diinginkan Pembuat syari’at…dan ketahuilah bahwa menggabungkan antara khimar dengan jilbab bagi wanita apabila keluar rumah telah dilalaikan oleh mayoritas wanita muslimah, karena yang terjadi adalah mereka mengenakan jilbab saja atau khimar saja, itu saja kadang tidak menutup seluruhnya… apakah belum waktunya wanita-wanita shalihah dimanapun mereka berada supaya sadar dari kelalaian mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam diri-diri mereka, dan mengenakan jilbab di atas khimar-khimar mereka?” (Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal: 85-86)

Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu:

حجابها باللباس، وهو يتكون من: الجلباب والخمار، …فيكون تعريف الحجاب باللباس هو:ستر المرأة جميع بدنها، ومنه الوجه والكفان والقدمان، وستر زينتها المكتسبة بما يمنع الأجانب عنها رؤية شيء من ذلك، ويكون هذا الحجاب بـ الجلباب والخمار

“Hijab wanita dengan pakaian terdiri dari jilbab dan khimar…maka definisi hijab dengan pakaian adalah seorang wanita menutupi seluruh badannya termasuk wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki, dan menutupi perhiasan yang dia usahakan dengan apa-apa yang mencegah laki-laki asing melihat sebagian dari perhiasan-perhiasan tersebut, dan hijab ini terdiri dari jilbab dan khimar.” (Hirasatul Fadhilah 29-30) Sebagian ulama mengatakan bahwa jilbab tidak harus satu potong kain, akan tetapi diperbolehkan 2 potong dengan syarat bisa menutupi badan sesuai dengan yang disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/178).

Wallahu a’lam.


Senin, 01 Agustus 2011

Bunga Cantik di Tengah Padang Rumput

Siapa di antara anda yang belum pernah mendengar pepatah yang mengatakan “Tak kenal maka tak cinta?”. Tentu semuanya sudah pernah mendengarnya, baik pada waktu pelajaran peribahasa di Mata Ajaran Bahasa Indonesia atau dalam pergaulan sehari-hari karena pepatah ini kerap kali digunakan orang. Sekarang, malah ada sedikit perubahan dan penambahan kata dalam pepatah tersebut. Yaitu menjadi "Tak Kenal Maka TaÂ’aruf."

Berbedakah keduanya ?

Dari kedua kalimat tersebut, sebenarnya ada perbedaan arti meski hanya sedikit dan tipis sekali. Taruh sebuah permisalan. Jika anda bertemu dengan seseorang yang tidak anda kenal sama sekali, tentu anda ingin mengenalnya lebih jauh dan keinginan untuk mengenalnya itu begitu kuat muncul dalam diri anda. Anda ingin tahu siapa namanya, dimana dia tinggal, apa kegiatannya dan segala sesuatu yang menyelingkupi kehidupan teman baru anda itu. Dalam kondisi seperti ini maka pepatah ‘yang baru’ akan diterapkan, “Tak Kenal Maka TaÂ’aruf.”

Tahukah anda bahwa sebenarnya dalam proses perkenalan itu telah terjadi sebuah proses lain yang juga berkembang dalam diri kita. Yaitu sebuah proses pemilahan kelompok teman. Pada waktu kita mulai melancarkan rangkaian pertanyaan padanya tanpa kita sadari yang kita cari adalah kesamaan dan kesesuaian dalam beberapa hal yang sekiranya akan menjadi perekat perkenalan tersebut.

“Eh.. suka baca buku nggak ?” atau “Oh, kamu tinggal disana yah ? Hmm, aku punya teman di sana, kenal sama A nggak yah, dia tinggal di blok Z.”

Proses perekat hubungan inilah pada banyak orang diartikan sebagai sebuah proses “Tak Kenal maka Tak Cinta.”. Tidak ada yang menyadari bahwa sebenarnya tidak melulu arti pemahaman sebuah perkenalan akan berakhir dengan sesuatu yang manis seperti yang diharapkan dalam pepatah tersebut. Ada kalanya, setelah sebuah perkenalan terjadi, lalu pengenalan diri masing-masing berlanjut pada hal yang lebih jauh, sebuah hubungan ‘perkenalan’ bisa jadi ikut berakhir pula seiring dengan perpisahan yang terjadi dalam sebuah pertemuan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sudah menjadi sebuah kebutuhan manusia untuk dapat memperoleh kepercayaan dan rasa aman dalam dirinya. Inilah yang terjadi dalam proses pemilahan kelompok teman yang baru kita kenal. Yup. Ada sebuah proses lain dalam sebuah perkenalan yang tanpa kita sadari telah menggiring kita untuk melakukan sebuah pemilahan yang sangat bersifat subjektif karena kebutuhan kita akan rasa percaya dan dan rasa aman tersebut.

Tanpa kita sadari kita mulai melakukan pemilahan dan pencarian data apakah dia cukup bermanfaat sebagai seorang teman ataukah tidak, ada sebuah istilah yang mungkin lebih pas tapi konotasinya pada beberapa orang mungkin menyakitkan telinga yang sensitif, yaitu “seberapa pantas orang yang baru anda kenal itu bisa menjadi teman anda”.

“Seberapa pantas…”, terdengar sangat arogan dan tidak bersahabat yah? Tapi meski terdengar sangat tidak sopan, memang itulah yang sesungguhnya terjadi dalam sebuah proses perkenalan. Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan bisa meletakkan rasa percaya kita pada seseorang yang tidak kita kenal? Dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan merasa aman pada seseorang yang tidak kita kenal? Sekali lagi, dalam alam pikiran sederhana, bagaimana mungkin kita akan memberikan rasa sayang, rasa cinta kita pada seseorang yang tidak kita kenal. Bukankah “Tak kenal maka Tak Cinta ?”

Dan disinilah letak ketertakjubanku pada peristiwa yang aku alami yang justru membuatku berpikir, tidak selamanya mungkin sebuah pertemuan dengan seseorang yang kita belum kita kenal akan melahirkan keinginan untuk ta’aruf, dan rasa sayang bisa saja terjadi tanpa didahului sebuah perkenalan yang memuat sebuah isian biodata yang harus diisi dalam blangko pencernaan pikiran biasa (tanya nama, alamat dan sebagainya).

Peristiwa yang pertama adalah sebuah peristiwa di sebuah bis kota yang melaju lamban di jalan raya yang macet di pinggir kota Jakarta yang memang sudah sangat padat setiap jalur badan jalannya dengan kendaraan yang berseliweran setiap harinya.

Hari cukup panas ketika itu dan bau keringat penumpang mulai menyebar menimbulkan sebuah perasaan tidak nyaman. Di sebelahku duduk seorang gadis berjilbab yang bertubuh agak besar. Dia sedang asyik membaca sebuah buku. Kulirik buku di tangannya dan mengenalinya sebagai salah satu buku yang sering aku lihat di pajang di toko buku.

Secara iseng (sungguh ini pertanyaan iseng karena aku mulai jenuh dengan masa menunggu kemacetan lalu lintas) aku mulai bertanya tentang apa judul buku yang dia baca. Gadis itu memperlihatkan judulnya padaku. Lalu aku mulai melontarkan pertanyaan apa isi buku tersebut dengan gaya sok akrab dan gadis itu melayani pertanyaanku dengan sabar dan penuh senyum.

Hmm, tampaknya dia mulai mengerti akan ketidak nyamanan yang aku alami dalam bis kota yang padat itu dan keterasingan untuk segera terbebas dari tempat dudukku yang keras sehingga dengan penuh keikhlasan gadis itu memberikan waktunya untuk menjawab pertanyaanku. Tanpa kami sadari kami terlibat sebuah diskusi menarik dan asyik.

Aku memang senang membaca dan lebih senang lagi jika diajak seseorang untuk bertukar pikiran tentang sebuah topik dari sebuah materi yang pernah aku baca atau aku ketahui. Hingga tak terasa tujuan akhir telah tiba. Gadis itu harus turun lebih dahulu dariku dan apa yang dia lakukan kemudian membuatku cukup ternganga dan sangat berkesan pada pertemuan dengannya.

“Aku ingin memberikan buku ini padamu.”

Subhanallah. Aku tahu dalam pembicaraan kami tadi bahwa buku itu belum dua jam yang lalu dibelinya di toko buku. Bahkan sampai halaman pertengahan pun gadis itu belum usai membacanya. Bagaimana mungkin dia akan memberikannya begitu saja padaku padahal tadi baru saja dia katakan bahwa dia menginginkan buku itu sejak lama sehingga dia menabung sedikit demi sedikit uang sakunya untuk dapat membeli buku itu.

“Tidak. Aku tidak menginginkannya. Buku itu milikmu, kamu belum selesai membacanya, bacalah dulu sampai selesai.” Aku menolaknya dengan keras.

“Tapi aku ingin memberikan buku ini padamu.” Gadis itu tetap bersikeras.

“Tidak.“

“Terimalah. Anggap ini hadiahku untukmu, kamu memang pantas menerimanya. Ayo, terimalah buku ini sebagai kenang-kenangan dariku karena aku tidak tahu kapan lagi kita akan bertemu di waktu yang akan datang.”

Duhai. Kalimatnya menimbulkan rasa haru yang mendalam, aku termangu sejenak tapi segera tersadar bahwa ini bukan saat yang tepat untuk jadi melankolis. “Tidak. Aku tidak bisa menerimanya.”

“Terimalah hadiahku ini. Kamu belum membacanya kan, bacalah, aku sudah membacanya sebagian dan isinya sangat menarik, sedangkan kamu belum membacanya sama sekali, aku ingin kamu membacanya juga dan bacalah sampai akhir.”

“Kenapa?“ Aku bertanya dengan bodoh. Sungguh aku tidak tahu kenapa gadis itu bersikeras memberikan buku barunya padaku.

“Kenapa kamu ingin memberikan buku barumu padaku, padahal kamu menginginkan buku ini sejak lama. Kenapa?”

“Karena aku sayang padamu. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu dan saat ini yang aku miliki adalah buku baruku ini. Percayalah padaku bahwa aku menyayangi kamu karena Allah semata sehingga jika saat ini kamu menginginkan yang lain dariku, seperti mataku, rambutku, tanganku, semua akan kuberikan padamu detik ini juga karena aku sayang padamu karena Allah semata.”

Aku makin ternganga. Belum ada satu jam kami berbincang dan diskusi tapi rasa sayang yang dia miliki padaku sudah demikian mendalamnya sementara namanya saja aku sama sekali tidak tahu karena dia memang hanya kujadikan seorang teman untuk membunuh waktu jenuhku di dalam kendaraan tersebut.

Ada sebuah rasa haru yang kian membuncah dalam dadaku mendengar untaian kalimat terakhirnya sekaligus melahirkan sebuah dorongan untuk menerbitkan mutiara bening dari sudut kelopak mataku. Aku tidak sanggup berkata apa-apa karena terbalut haru dan buku itu sudah berpindah tangan, diletakkan gadis itu di dalam genggamanku sementara dia bersiap untuk turun dari kendaraan. Pada perhentian selanjutnya gadis itu mulai berdiri menepi.

“Mbak..makasih yah. Aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya bahkan kita belum sempat berkenalan. Mbak juga tidak tahu siapa aku.” Gadis itu hanya tersenyum ramah mendengar kalimatku yang mungkin terdengar sangat bodoh.

“Itu tidak penting. Yang aku tahu kamu adalah saudariku dalam islam. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan dengan masing-masing dalam kondisi yang lebih baik.”

Kemudian bis berhenti dan setelah mengucapkan salam, gadis berjilbab itu melesat turun sambil melambaikan tangannya padaku. Aku membalas salamnya sambil tersenyum dan setelah dia menghilang dari pandanganku aku mulai membaca judul bukunya.

“Menjadi Muslimah yang kaffah.”

Hmm, mungkin dia memberikan buku itu karena aku belum berjilbab. Yup. Kejadiannya memang sudah lama sekali, sewaktu aku masih kuliah dulu dan masih banyak mempertimbangkan banyak hal sehingga belum timbul keinginan kuat untuk menutupi auratku secara lengkap dengan sebuah hijab yang semestinya.

Aku sangat terkesan dengan peristiwa itu karena di kampus, teman-teman akhwat lain lebih banyak yang memilih untuk tidak menaruh kepercayaan dan kasih sayang sebesar seperti yang diberikan oleh gadis tadi. Di kampus mereka memberlakukan sebuah jarak dalam membina hubungan denganku yang notabene sebenarnya memiliki agama yang sama dengan mereka hanya saja aku belum berjilbab. Image muslimah sebagai sebuah kelompok eksklusif dalam kepalaku telah hancur lebur dalam hitungan detik dengan kehadiran gadis berjilbab itu.

Sekarang aku alhamdulillah sudah mengenakan jilbab, sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai dua orang jundi yang manis. Kesibukan sehari-hari dalam urusan pekerjaanku sebagai ibu rumah tangga hampir tidak menyisakan waktu luang bagiku. Lebih dari itu, kadang timbul sebuah proses pemilihan teman dalam bergaul yang terus terjadi tanpa aku sadari.

Jika ibu-ibu lain di sekitar rumahku sering berkumpul di depan pagar rumahnya maka bisa dikatakan aku jarang sekali ikut berkumpul dengan mereka. Jika ada acara pertemuan antar ibu-ibu di lingkungan rumahku, entah itu arisan rt, pengajian bulanan, pertemuan bulanan antar warga, atau bahkan acara resmi seperti selamatan atau kenduri, bisa dipastikan aku hanya hadir pada saat acara resmi itu berlangsung saja. Setelah acara resmi selesai, ketika piring gelas mulai dikumpulkan di tengah tikar, aku memilih untuk segera mengundurkan diri ketimbang ikut bergerombol bersama ibu-ibu yang lain membuat pembicaraan dan acara baru di luar acara inti.

Hmm, aku tetap berusaha untuk bergaul akrab, ikut tersenyum dan bersenda gurau atau berdiskusi dengan teman-teman ibu-ibu rumah tangga yang lain dalam konteks acara yang aku ikuti masih berlangsung. Setelah itu, setelah acara itu selesai, aku lebih memilih untuk mengundurkan diri lebih karena alasan menghindari kemudharatan.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi apa yang dilakukan oleh para ibu-ibu rumah tangga jika mereka berkumpul dan mulai saling bercengkerama di luar sebuah acara yang terkoordinir. Mereka akan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan inilah yang aku hindari. Terlibat dalam pergaulan seperti itu bagiku seperti memakan sebuah buah simalakama. Dimakan dalam arti kita melibatkan diri; kita akan terpengaruh dengan atmosfere mereka karena mau tidak mau kita akan mengeluarkan suara dan terlibat dalam pembicaraan mereka yang kelak kita akan menyesalinya sendiri. Pilihan kedua adalah tidak memakannya, yaitu kita tetap diam jadi pendengar dan itu artinya kita membiarkan isi pembicaraan mereka itu akan masuk ke telinga kita tanpa sebuah perlawanan, mengendap di dalam hati dan secara tidak sadar akan menimbulkan sebuah diskusi dengan diri sendiri yang lebih banyak melahirkan sebuah su'udzon dan ketidak nyamanan.

Ada sebuah pembenaran yang aku pegang dalam keputusanku untuk melakukan apa yang menurutku saat ini baik bagiku, yaitu mencegah sebuah kemudharatan itu lebih utama ketimbang menyebarkan manfaat. Hmm, benarkah pembenaran ini? WallahuÂ’alam.

Nah, dalam kesibukan memilih teman dalam pergaulan sehari-hari itulah terjadi peristiwa kedua yang juga sangat menyentuh hati dan memberi kesan yang sangat mendalam bagiku. Kejadiannya terselip dalam peristiwa rutinitas sehari-hari dan dalam waktu yang tidak terduga. Yaitu waktu shubuh.

Ada sebuah kebahagiaan tersendiri yang aku rasakan menjelang waktu shubuh. Yaitu kesempatan untuk berjalan menikmati suasana damai menjelang shubuh berdua saja dengan suamiku. Masjid tujuan kami letaknya lumayan jauh dari rumah dan waktu yang terhampar di selang perjalanan menuju masjid itu biasanya diisi dengan percakapan ringan yang lepas dari rasa kesal, jenuh dan bosan akan rutinitas pekerjaan dan kegiatan.

Yang ada hanyalah senda gurau atau curhat yang diiringi nasehat ringan diseling canda. Biasanya, setelah melakukan shalat shubuh berjamaah di masjid kami segera bergegas menuju rumah karena tugas rutinitas sehari-hari telah menunggu. Itu sebabnya waktu berangkat menuju masjid itu menjadi lebih istimewa (menjadi makin istimewa karena kadang kesehatanku yang sering terganggu dan kemalasan akibat kelelahan akan tugas sehari-hari membuat acara manis ini menjadi kian sulit dilakukan).

Hari itu, seperti biasa aku segera melipat perlengkapan shalatku dan mulai bersiap-siap untuk pulang ketika ada seseorang yang menyapaku. Seorang wanita tua yang tampak tersenyum dan memberiku salam. Aku membalas salamnya sambil ikut tersenyum.

“Apa kabar nak? kenapa sudah lama sekali tidak kelihatan?” sambil beringsut, aku mendekati ibu tua itu dan duduk di hadapannya sambil menyalaminya dengan sopan.

“Sakit bu. Saya sudah beberapa hari ini sakit jadi tidak bisa pergi kemana-mana termasuk ke masjid ini. Tapi alhamdulillah sekarang sudah sehat kembali. Ibu sendiri gimana kabarnya?”

“Alhamdulillah sehat nak.” Ibu itu masih memandangiku sambil tersenyum lembut sekali. Tiba-tiba dia meraih kedua pergelangan tanganku dan memegangnya dengan sangat erat.

“Ibu rindu sekali melihat kedatanganmu.. sudah hampir setengah bulan tidak melihat kamu hadir di sini.” Aku hanya tersenyum tapi dalam hati tak urung heran. Setengah bulan, artinya ibu itu menghitungnya. Artinya lagi, ibu ini tentu jamaah tetap di kala waktu shubuh di masjid ini…wah… bagaimana aku bisa tidak tahu akan kehadiran ibu ini setiap kali aku shalat disini. Hmm, mungkin karena aku selalu tergesa untuk pulang karena memikirkan pekerjaan rumah tangga yang terasa sudah antri untuk dikerjakan. Duh, betapa tidak pedulinya aku pada lingkunganku selama ini. Kalimat ibu itu mulai terasa seperti sindiran bagiku.

“Ibu selalu berdoa agar kamu sehat nak… sungguh, ibu mencintai kamu karena Allah dan selalu berharap bisa bertemu kamu di sini, di masjid ini meski ibu sendiri juga tidak yakin karena ibu sudah sangat tua dan makin rapuh.”

Subhanallah….
Kali ini aku sungguh-sungguh merasa terharu. Selama ini aku tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi pada lingkungan sekitarku. Aku sibuk dengan urusan keseharianku sendiri, aku sibuk dengan diriku sendiri sedangkan ibu tua di hadapanku, yang mungkin hidupnya lebih susah, lebih kompleks permasalahannya, lebih rumit hal tentang kesehariannya, tetap memiliki kemampuan untuk memperhatikan lingkungannya.

Hmm.. tahukah anda. Kedua peristiwa berkesan di atas itu sebenarnya sebuah nasehat yang sangat manis dari Allah untukku. Subhanallah. Kadang, sebuah nasehat itu tidak melulu hanya berupa sebuah tausiyah panjang lebar tentang hamparan hadits dan ayat.

Sebuah nasehat bisa juga berupa perbuatan. Sama seperti perbuatan gadis berjilbab di bis kota di atas. Dengan memperlihatkan keramahan dan kesantunan serta keikhlasannya (sampai sekarang aku tidak pernah sekalipun lagi berjumpa dengannya, semoga Allah merahmatiNya selalu, amin), aku jadi tergugah akan keindahan ukhuwah dalam islam dan kemanisan budi pekerti muslimah sesungguhnya. Lebih dari itu, muncul semangat untuk benar-benar mewujudkan jati diri sebagai “Muslimah yang kaffah”, seperti nasehat yang diberikan dalam buku yang diberikannya secara cuma-cuma padaku.

Begitu juga dengan ibu tua di dalam masjid itu (hik..hik..aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya, dan aku sampai detik ini tidak tahu siapa namanya, dimana dia tinggal dan informasi apapun tentang dia. Semoga beliau tetap dalam lindungan Allah SWT). Dengan kelembutan seorang ibu yang bijak, dia mengingatkan aku agar merindukan “masjid” selalu sesibuk apapun kegiatanku... ibu itu juga mengingatkan aku bahwa penilaian akan lingkunganku selama ini sebenarnya tidak selamanya benar. Bukankah di tengah hamparan rumput hijau di tengah padangpun selalu terselip bunga berwarna cantik yang harum baunya meski keberadaan bunga tersebut kecil mungil nyaris tak terlihat?

Kehadiran mereka berdua adalah penyejuk dahaga di tengah perjalanan panjang dan membosankan karena keterasingan yang monoton.
Kehadiran mereka adalah pendorong semangat ketika ghirah mulai kendur karena rutinitas keseharian yang mulai menegangkan urat syaraf. Hmm.. wallahuÂ’alam.

Aku jadi teringat sebuah hadits yang mengatakan bahwa :
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Dari kitab shahih Muslim, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik).

Begitu besar rasa persaudaraan yang terkandung dalam hadits tersebut hingga tidak ada pemilahan kelompok di dalamnya yang berdasarkan pada beragam suku, ras, golongan, bangsa dan warna kulit. Semuanya adalah keluarga. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al Hujurat:10).

Mencintai disini adalah menginginkan segala kebaikan yang dia miliki untuk turut pula dirasakan oleh saudaranya.

“Demi Dzat yang jiwaku ada di TanganNya, tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan dirinya sendiri.” (Dari riwayat Nasa’i).

Kebaikan disini adalah kebaikan “menurut syariat” seperti ilmu yang bermanfaat, amal yang shaleh, dan akibat yang positif. Tidak ada tempat di sini untuk penilaian yang bersifat subjektif yang sering kita berlakukan jika kita memilih teman tanpa kita sadari. Sama seperti nasehat halus yang diberikan oleh gadis di bis kota itu padaku. Sementara teman-teman akhwat menolak kehadiranku yang “berbeda” dengan mereka yang berjilbab lebar, maka gadis itu dengan penuh keikhlasan mengajarkan aku arti ukhuwah sesungguhnya dan tanpa sadar memberiku semangat untuk “mengenal islam (agama perdamaian) lebih jauh”. Subhanallah.

Semoga kita semua bisa belajar untuk bisa pula menjadi suri tauladan seperti kedua tokoh “nyata” yang aku temui di dalam hidupku itu. Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberiku pelajaran yang sangat berharga.

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau.
Engkau yang menciptakan ku dan aku adalah hambaMu.
Aku terikat dalam perjanjian dengan-Mu sekemampuanku.
Aku berlindung kepada-MU dari segala kejahatan yang telah aku lakukan.
Aku mengakui nikmat-nikmat-MU kepadaku dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku, karena tak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa, kecuali engkau” (HR. Bukhari)

Minggu, 22 Mei 2011

Ahh...aku dilema...ya..dilema yang dihadapi para pejuang islam..

Dilema Simalakama
Oleh: Abu Lubna

Pemuda khoirul (K) : Sungguh naïf, ironis, mengherankan, sangat tidak masuk akal….!!!
Pak Sholeh (S) : Lho…lho…lho…ada apa Nak Khoirul? Apa yang sedang mengganggu fikiranmu?

K : Itu lho pak, sementara orang-orang kafir sedang sibuk mempersiapkan program ”Jusuf 2004”, yaitu sebuah program agar pada pemilu nanti presiden kita dijabat oleh orang Kristen, eh malah ada yang membid’ahkan partai politik, sungguh aneh!!
S : Lho, tenang dulu Nak Khoirul, sabar. Ananda kan orang yang selalu berkata agar menghargai pendapat orang lain, kenapa sekarang ananda tidak konsisten?

K : Astaghfirullah, Pak Sholeh benar. Saya Cuma heran, kenapa mereka bisa berpendapat seperti itu, padahal sebagian dari mereka itu kan cendikiawan, intelektual, bahkan para ulama yang memperjuangkan Islam?
S : Tentunya mereka mempunyai alasan untuk berpendapat seperti itu. Dan seperti Nak Khoirul katakan, pendapat seseorang itu harus kita hargai. Betulkan? Baiklah, sekarang saya akan mencoba melihatnya dari sudut pandang lain. Saya lihat, sebenarnya dalam permasalahan yang sedang ananda fikirkan itu ternyata ada 2 permasalahan berbeda.

K: Maksud Bapak?
S: Yang pertama adalah permasalahan Program Jusuf 2004, yang kedua adalah permasalahan pembid’ahan partai politik. Kedua permasalahan itu telah datang pada masa yang berbeda, dan kedua-duanya tidak saling berkaitan awalnya. Jadi tidak benar awalnya ketika ada Program Jusuf 2004, lalu ada orang-orang yang mencounternya dengan mengatakan bahwa partai politik itu bid’ah. Janganlah dikesankan seperti itu, anada harus bijaksana dalam menyimpulkan suatu permasalahan.

K: Jadi, bagaimana Bapak melihat permasalahan ini?
S: Permasalahan pembid’ahan partai politik itu telah dibahas para ulama sejak zaman munculnya demokrasi, bahkan kalau diqiyaskan, masalah itu telah dibahas dalam kitab-kitab ulama terdahulu. Para ulama tersebut tentunya mempunyai dalil, argumen yang berdasarkan kitabullah dan Sunnah Nabi dan dengan beberapa catatan penting tentang demokrasi. Adapun permasalahan Jusuf 2004 adalah permasalahan baru, yang butuh untuk difikirkan dan dipecahkan bersama, termasuk oleh para ulama tersebut. Saya yakin, sangat tidak mungkin bagi ulama yang memfatwkan bid’ahnya partai politik itu akan tinggal diam atau bahkan menganjurkan untuk golput, sementara kaum kafir sedang serius mengincar kursi presiden. Sekali lagi, Ananda harus sdikit bijaksana dalam berfikir, Ananda harus tabayun dengan mereka.

K: Baiklah, sebagai seorang muslim, apa yang akan Bapak lakukan dalam mensikapi program ” Jusuf 2004 ” itu?
S: sesuai dengan kemampuan masing-masing, karena Allah tidak membebani hambaNya kecuali denagn apa yang kira-kira menjadi kewajibannya. Sebagai seorang ustadz, maka saya berkewajiban untuk mengumumkan program kristenisasi ini kepada kaum muslimin agar mereka tahu bahwa musuh sedang mengincar kita. Kita harus marah di mimbar-mimbar, masjid-masjid, majelis ta’lim.

K: Lalu apa tindakan konkritnya?
S: Nah, orang-orang kafir itu kan sasarannya adalah pemilu, mereka pasti akan menyusup kepada partai-partai yang berkedok nasionalisme dan mengelabuhi kaum muslimin. Maka tidak ada cara lain kecuali kita serukan kepada kaum muslimin agar mencoblos partai-partai islam yang berjuang untuk islam dan membela kaum muslimin.

K: Kalau begitu, partai-partai manakah yang Bapak anjurkan untuk dicoblos?
S: Tidak mengapa partai apapun, asalkan partai Islam. Namun sebaiknya kita memilih partai yang kita lihat mempunyai jalan yang lebih dekat kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

K: Saya setuju sekali pak, tidakkah sebaiknya kita bergabung dengan mereka?
S: Ya, Ananda benar sekali, saya siap bergabung dengan mereka dalam segala bentuk amar ma’ruf nahi munkar bil hikmah. Sedangkan memberitahukan kaum muslimin tengatang Program Jusuf 2004 ini adalah juga bagian dari amar ma’ruf nahi munkar tadi. Sekali lagi insyaAllah saya siap. Bukankah begitu yang Ananda maksud?

K: Maksud saya, kita bergabung dengan salah satu partai tersebut, memakai baju mereka dan berdakwah dengan cara mereka.
S: Oh begitu maksud Ananda. Baiklah, kalau begitu tolong Ananda amati pada partai manakah saya dapati sifat-sifat hizbullah, karena Allah hanya memerintahkan saya untuk bergabung dengan partai tersebut.

K: Setahu saya, semua partai islam mengatakan bahwa mereka memperjuangkan islam, tentunya mereka semua hizbullah.
S: Hizb-Allah itu Cuma satu, karena dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan kata ”Hizb” (singular) yang artinya ”sebuah partai”.

K: Kalau begitu, tolong Bapak rincikan dulu sifat-sifat hizbullah itu, baru nanti saya akan cocokan dengan partai-partai yang ada.
S: Baiklah, sebenarnya banyak sifat-sifatnya, tapi saya akan sebutkan satu sifat saja, yaitu mereka senantiasa menjaga dan mengusahakan persatuan kaum muslimin, karena Allah telah memerintahkan kita untuk bersatu dan melarang bercerai-berai.

K: Setahu saya, semua partai islam juga menyerukan pada persatuan ummat.
S: kalau memang mereka semua berkata begitu, lalu mengapa mereka tetap berusaha mengeksistensikan partainya masing-masing. Kadang-kadang kalau ada masalah, hanya nama partai yang diganti, tidak berusaha untuk mengajak semua partai islam untuk melebur. Apakah menurut Ananda persatuan itu akan terwujud dengan satu partai atau banyak partai? Bahkan di Indonesia, satu partai saja bisa beranak jadi dua. Ananda harus selalu ingat, bahwa persatuan islam itu ibarat sebuah lingkaran besar. Biarkanlah lingkaran besar kaum muslimin itu tetap satu, jangan dibagi-bagi menjadi lingkaran-lingkaran kecil.

K: kalau begitu, saya yakin pasti partai pak ahmad itulah partai hizbullah, karena dalam kampanye mereka,mereka lebih sering menyerukan kepada persatuan kaum muslimin.
S: Saya ingin balik bertanya, apakah sewaktu mengatakan itu dalam kampanye mereka, mereka memakai suatu atribut khusus?

K: Ya, tentu mereka memakai lambang, bendera dan seragam mereka.
S: Nah, hal itu sudah cukup kita katakan bahwa mereka telah membuat lingkaran kecil didalam sebuah lingkaran besar. Karena lingkaran besar islam tidak mempunyai lambang, bendera, dan seragam. Bahkan hal itupun sudah cukup untuk membuat orang islam yang lain merasa berbeda dengan umat islam yang memakai atribut dan seragam tersebut.

K: Tapi Pak ahmad sering mengatakan bahwa mereka tidak menuntut untuk dipilih, yang penting kita memilih salah satu partai islam. Bukankah ini kalimat yang haq?
S: Seandainya mereka menyerukan agar umat islam memilih mereka, atau mengajak bergabung menjadi anggota partai mereka, maka inilah yang saya namakan membuat lingkaran kecil. Namun apabila mereka menyerukan untuk memilih partai apa saja asalkan partai islam, maka perkataan ini adalah hipokrit, karena jelas-jelas setiap partai itu mempunyai target. Adapun target adalah harapan, harapan tentunya akan dibarengi dengan usaha untuk mencapainya, yaitu mengajak manusia. Lalu untuk apa ditentukan target?

***

K: Kalau begitu, apa konsep persatuan islam menurut Bapak?
S: yaitu sebuah lingkaran besar kaum muslimin yang mengatakan Lailaaha illallah Muhammaddarrasulullah, menjalankan kitabullah, Sunnah Nabi serta ijma’ para shahabat. Maka mereka itu adalah saudara, sehingga wajib dibela. Yang diluar lingkaran itu adalah musuh.

K: kalau melihat konsep yang sederhana itu saya berkesimpulan bahwa islam itu ya islam, tidak butuh lagi dengan organisasi atau perkumpulan. Bukankah begitu?
S: Organisasi atau perkumpulan itu bisa saja diperlukan, yaitu sebagai sarana bagi kita untuk mempermudah dakwah dan menyerukan manusia kepada lingkaran besar islam. Tapi kalau organisasi/ perkumpulan/ kelompok/partai itu didirikan untuk mengajak manusia masuk kepada kelompok mereka, maka mereka telah membuat sebuah lingkaran kecil didalam lingkaran besar kaum muslimin. Organisasi seperti inilah yang justru akan memecah belah umat. Imam malik berkata, ”apabila Anda melihat suatu kelompok dalam islam yang menyerukan umat islam masuk kepada kelompoknya, bukan menyerukan kepada islam, maka ketahuilah bahwa kelompok ini adalah sesat”. Ini bukan kata saya, ini kata imam malik.

K: tapi, pada kenyataannya umat islam itu sendiri telah berkelompok-kelompok, dan setiap kelompok mempunyai ciri-ciri tertentu, apa tanggapan Bapak?
S: Ananda jangan heran, itu adalah realita yang telah dikabarkan oleh nabi. Namun demikian, kita tidak boleh pasrah,kita dituntut untuk terus berusaha kepada persatuan umat dan jangan bercerai-berai karena itu adalah perintah Allah dalam AL-Qur’an.

K: Kalau begitu, bagaimana kalau kita rangkul saja semua kelompok-kelompok islam itu, mulai dari syi’ah yang menghujat para sahabat sampai semua kelompok di kalangan ahlussunah, yang penting mereka mengaku Tuhan kami adalah Allah dan Nabi kami adalah Muhammad. Lalu kita berjuang dalam sebuah partai untuk kemenangan islam dan untuk sementara tidak memperselisihkan perbedaan.
S: Ide yang tidak terlalu jelek, saya hargai pendapat Anda. Namun sayangnya, cara seperti itu tidak akan pernah akan berhasil di dalam konsep demokrasi itu sendiri.

K: Maksud Bapak?
S: Coba Anda fikirkan, anggap saja dengan cara itu akhirnya umat islam akan meraih suara terbanyak dan menang, lalu apa kira-kira yang akan terjadi?

K: Tentunya kita bisa menerapkan hukum islam dengan leluasa.
S: Hukum islam yang bagaimana? yang sesuai dengan kitab wa sunnah seperti pada zaman Nabi dulu, atau hukum islam yang bisa mengakomodasi seluruh pemahaman yang ada pada kelompok-kelompok yang bersatu tadi? Karena Ananda harus ingat, didalam konsep demokrasi, setiap orang berhak untuk menuntut haknya. Kaum syi’ah akan meminta masjid untuk menghujat para sahabat, kaum sunni quburiyun akan tetap minta diperbolehkan berkunjung ke kuburan-kuburan. Semua sekte yang telah berhasil memenangkan partai tersebut, akan meminta hak untuk beribadah sesuai dengan cara mereka, atas nama demokrasi.

K: Jadi menurut Bapak, tidak mungkin kita bisa menerapkan hukum islam yang shohih, setelah kita memenangkan pemilu tersebut?
S: Mustahil menurut konsep demokrasi. Karena persatuan islam dengan cara itu hanyalah persatuan jasadi, bukan persatuan islam yang sesunggguhnya. Setiap kelompok yang berbeda-beda itu akan kembali menuntut haknya masing-masing dengan mengatasnamakan demokrasi.

K: Kalau begitu, adakah cara lain, untuk menunaikan perintah Allah agar kita menuju persatuan islam?
S: Seperti telah saya katakan, realitas perpecahan umat ini telah dikabarkan oleh Rasulullah pada 14 abad yang lalu, dan jalan keluarnya pun telah pula dijelaskan oleh Beliau.

K: Apa jalan keluar menurut Beliau (Nubuwwah)?
S: ”yaitu ruju’ (kembali) kepada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin sesudahku”. Kalau dikatakan ’kembali’, maka hal itu akan mempunyai dua makna. Pertama: orangnya telah berjalan terlalu jauh, kedua: jalannya itu sendiri yang kejauhan/ salah jalan/ rambu-rambunya rusak atau tersamar. Maka untuk membuat ”orangnya” bisa kembali, kita harus memberikan arahan kepadanya, yaitu berupa petunjuk/ pendidikan (tarbiyyah) agar orang tersebut bisa mencari jaln pulang. Adapun terhadap ”jalannya”, maka kita harus benahi jalan itu, bersihkan, murnikan (tasfiyyah) agar orang lain tidak kembali menempuh jalan itu, walaupun orang munafik tidak menyukainya. Melalui hadist ini, Rasulullah telah memberikan solusi metode dakwah akhir zaman, ketika umat islam telah berkelompok-kelompok. Inilah metode dakwah menuju persatuan hakiki, yaitu persatuan jasadi wa ruuhi.

K: memang begitulah idealnya. Karena dengan bersatunya pemahaman, maka otomatis jasadnya pun akan bersatu. Namun demikian, akan lama sekali rasanya kemengan itu tercapai?
S: Lama atau cepat bukan urusan kita. Itu urusan Allah. Kita tidak dituntut untuk cepat-cepat. Bahkan kemenangan itu sendiri pun bukan suatu tuntutan. Kemenangan pada hakikatnya adalah pemberian dari Allah. Yang Allah tuntut dari diri kita adalah bagaimana kita menunaikan jalan menuju kemenangan tersebut sesuai dengan konsep nubuwwah.

K: Kalau begitu, kapan kita bisa mendirikan sebuah Daulah islami?
S: Daulah hanyalah sebuah sarana dakwah, bukan tujuan dakwah. Sarana itu memang harus kita capai, namun bukan dengan melupakan tujuan. Tujuan dakwah adalah yang asasi. Tujuan dakwah adalah mentauhidkan Allah dan ’memurnikan’ islam yaitu dengan cara menuntut dan menyebarluaskan ilmu, serta mempersatukan umat sesuai denagn konsep nubuwwah tadi.

K: Tapi, bagaimana mungkin Bapak bisa mengatakan ’mendirikan daulah’ itu bukan salah satu tujuan dakwah?
S: Baiklah, apakah Ananda ingat kisah Rasulullah dengan pamannya abu thalib?

K: Kisah yang mana Pak, ada beberapa kisah yang saya ingat.
S: Kalau seandainya mendirikan daulah, atau menjadi presiden, atau mencapai kekuasaan adalah tujuan dakwah, maka Rasulullah telah memilih kesempatan itu diawal masa datangnya islam, tanpa harus berperang!. Ingatkah Ananda, ketika kaum kafir Quraisy melalui lisan paman nabi, abu thalib, menawarkan: seandainya engkau menghendaki wanita maka mereka akan mencari wanita-wanita tercantik untuk dinikahkan dengan engkau, atau harta, maka mereka akan mengumpulkan seluruh kekayaan Quraisy dan diberikan kepada engkau, atau menjadi raja, maka mereka akan membai’at engkau menjadi raja. Namun apa jawaban Beliau?

K: Apa kata Beliau Pak?
S: Beliau bersabda: ”sekali-kali tidak wahai pamanku!, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, bulan ditangan kiriku, maka sekali-kali aku tidak akan gentar, sampai Allah memenangkan urusanku, atau aku binasa bersamanya”.
K: Subhanallah, mengapa Beliau tidak memilih menjadi raja, bukankah Beliau politikus ulung?
S: Politikus ulung hanyalah julukan orang-orang, tapi Beliau adalah seorang Nabi. Seorang Rasul yang diturunkan dengan membawa konsep dakwah nubuwwah. Kalau seandainya Beliau adalah seoarang politikus, maka harta akan beliau peroleh, wanita yang cantik akan mudah Beliau dapatkan, bahkan dakwahpun akan lebih mudah disebarkan. Tapi sekali lagi, Beliau bukan seoarang politikus, beliau adalah seorang Nabi, yang mendapat wahyu dan diperintahkan oleh Allah ’azza wajalla.

K: Jadi, mencapai kekuasaan itu bukan julukan dakwah?
S: Begitulah. Kalau seandainya hal itu merupakan tujuan, maka sesungguhnya kesempatan itu sudah ada di depan mata Rosululloh, tanpa harus berperang, tanpa harus ber-pemilu. Tapi beliau tidak mengambilnya. Dan seandainya kita menyangka bahwa dengan kekuasaan, hukum Islam itu bisa ditegakkan, sudah barang tentu Rosululloh pun telah lebih dulu menerima tawaran kaum Quraisy itu.

K: Oya, saya teringat sesuatu. Bukankah Rosululloh menolak tawaran tersebut karena tawaran itu bersyarat? Yaitu agar beliau meninggalkan dakwah Islamiyyah?
S: Bukankah kekuasaan yang dicapai dengan demokrasi pun akan penuh dengan syarat? Penuh kompromi? Penuh toleransi? Harus tetap menghargai orang yang berbeda pendapat, menghargai orang yang tidak setuju dengan hukum rajam, potong tangan, jilbab, bahkan menghargai hukum murtad dari agama Islam, karena hal itu adalah hak asasi manusia. Kalau ternyata Rosululloh meninggalkan pencapaian ’kekuasaan yang bersyarat’ itu, lalu mengapa kita berani mengambilnya?

K: Saya kagum dengan argumentasi-argumentasi yang Bapak kemukakan, namun masih ada sedikit syubhat dalam fikiran saya.
S: Silahkan Ananda kemukakan.

K: Kalau pada zaman Nabi kan Beliau dituntut oleh Allah untuk memperjuangkan Islam yang sempurna, karena kita bukan Nabi. Jadi melalui demokrasi, kita bisa mengakomodasi hukum Islam sedikit demi sedikit.
S: Masalahnya Allah telah berfirman : Walaa talbisul haqqo bil baatili (Janganlah kalian mencampuradukan yang haq dengan yang bathil). Sebuah larangan yang sangat keras dari Allah. Memang dengan demokrasi, sebagian hukum Islam mungkin bisa diakomodasi, namun di saat yang sama, kita terpaksa melanggar ayat tadi, karena harus bertoleransi dengan selain hukum Allah, harus bersekutu dengan orang kafir dalam penentuan suatu hukum. Saya melihat bahwa kemampuan akomodasi dengan cara demokrasi tidak akan sampai kepada derajat kamil/kaffah, karena disana ada kompromi, toleransi, tenggang rasa.

K: Lalu, cara apa yang bisa mengakomodasi hukum Islam secara kaffah?
S: jihad fii Sabilillah. Dengan cara itulah Islam telah jaya pada zaman para Nabi dan Rasul, dan dengan cara itu pulalah agama islam ini akan kembali jaya di akhir zaman, Islam telah dimuliakan dengan jihad, dan akan kembali mulia dengan jihad

K: Pak Sholeh, tadi Bapak telah menjelaskan satu sifat dari sifat-sifat hizbullah, yaitu menjaga dan menyerukan persatuan Islam. Tolong Bapak sebutkan sifat-sifat yang lain!
S: Mereka itu sesuai firman Allah: Asidda’u’alal kuffar, ruhama’u bainahum (keras terhadap orang kafir, berkasih sayang sesama mereka).

K: Tolongg Bapak sebutkan ciri hizbullah yang lain!
S: Mereka menyerukan kaum wanita muslimah kembali ke rumah agar mendidik generasi muda islam, sebagai kewajiban yang telah lama di tinggalkan atau sengaja di lupakan, yaitu perintah Alloh ’azza wa jalla: ”Wa qoma fii buyuutikunna!” namun ananda, diantara mereka justru ada yang menjadi anggota parlemen, bercampur dengan laki- laki dan orang- orang kafir.

K: tolong sebutkan satu lagi saja sifat yang lain!
S: Wahai ananda, mereka itu selalu memperjuangkan Hak Asasi Alloh (HAA).

K: Setau saya, semua partai islam tentu memperjuangkan hak- hak Alloh, walaupun istilahnya tidak setenar mereka memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Bagaimana tanggapan bapak?
S: Itulah DEMOKRASI. Inti dari konsep demokrasi adalah adanya hak individu, yaitu hak asasi manusia /(HAM). Yaitu bahwa setiap orang, baik itu shalih, maupun jahat, mempunyai hak asasi yang harus dihormati. Setiap orang boleh mengeluarkan pendapat yang harus dihargai.

K: Bukankah itu suatu konsep yang sangat baik?
S: Adakah padanya kkebaikan, sementara konsep ”haak asasi” mengatakan : segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu, selama perbuatan itu tidak mengganggu orang lain, tidak merugikan orang lain, tidak melanggar hak orang lain, maka itu adalah hak asasi dia yag harus didengar, dihargai, dan dilindungi.

K: Saya belum memahami maksudnya, tolong dijelaskan lagi.
S: Didalam negara demokrasi, apabila ada satu atau dua orang saja yang mempunyai pendapat, misalnya kita contohkan saja perkawinan sejenis (gay/lesbi), maka kedua orang tersebiut berhak untuk turun ke jalan berdemonstrasi, menulis di medis massa mendakwahkan idenya, membentuk organisasi, serta berhak untuk dilindungi hak asasinya tersebut.

K: Saya akan menentang kedua orang tersebut, karena homoseksual tidak bisa diterima oleh Islam.
S: Lho, Ananda kan selalu berkata agar menghargai pendapat orang lain, maka ananda harus konsisten, sesuai prinsip demokrasi.

K: Baiklah, adakah contoh konkrit yang lain?
S; ketika para agamawan, baik dari islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lainvmenentang perbuatan seks diluar nikah seperti WTS, maka ada orang-orang yang mengaku dirinya nasiponalis, aktifis HAM berkata membela:’ mereka itu mempunyai hak untuk makan, untuk hidup, untuk membiayai anak-anaknya yana lapar. Maka disaaat mereka tidak memiliki keahlian untuk bekerja kecuali demgan menjual tubuhnya, maka kita harus memberikan kesempatan itu, memberikan haknya untuk hidup, selama didalamnya ada rasa suka sama suka, saling menguntungkan dan tidak merugikan orang lain. Maka membunuh hak mereka, sama dengan membunuh anak-anaknya yang lapar. Begitu juga dengan istilah WTS yang cenderung menghinakan mereka, istilah itu harus diganti dengan yang lebih manusiawi seperti Pekerja Seks Komersial (PSK). Demi keagungan prinsip demokrasi, anda harus menghargai hak-hak mereka!!!

K: Tolong sebutkan satu saja contoh konkrit yang lain?
S: Berjemur tanpa selembarpun busana di taman-taman kota di Jerman, masih dilarang oleh undang-undang dan ada padanya hukuman denda. Namun apa yang terjadi saat ini, ketika polisi mendatanggi mereka dan mengingatkan akan peraturan ini, mereka mengatakan: ”ini adalah hak asasi saya, ada apa dengan anda? Apakah saya mengganggu hak orang lain?”

K: Wah, sangat tidak bisa dibayangkan ya Pak. Bagaimana kalau setiap orang jahat di Indonesia turun ke jalan lalu berkata: saya menuntut hak saya untuk bisa berbuat ini dan itu.
S: Singkatnya, kalau ada orang baik yang memperjuangkan suatu kebenaran, lalu ada orang jahat yang berkata:”saya ingin melakukan yang berlawanan dengan anda, dan ini adalah hak asasi saya, pendapat saya” maka ananda harus menghargainya, atas nama demokrasi.

K: Pak Sholeh, tadi Bapak telah menjelaskan salah satu konsep demokrasi yaitu kebebasan pendapat dan HAM. Lalu adakah konsep demokrasi lain yang janggal?
S: Di dalam memilih seorang pemimpin, katakanlah Presiden, maka seorang da’i kondang sekelas Zainuddin MZ akan memiliki suara yang sama nilainya dengan seorang pelacur, perampok, koruptor yang sedang di penjara, bahkan orang kafir, yaitu SATU suara. Jadi inti konsep demokrasi yang kedua adalah menang-menangan suara.

K: Lalu apa kejanggalannya?
S: Konsep itu tentu akan membuat Al-haq tidak akan pernah menang, bahkan mustahil untuk menang.

K: Tidak akan pernah menang? Bukannya kita dapat bertarung lewat pemilu?
S: Bagaimana Ananda akan bertarung, sementara Rasululloh telah mengabarkan tentang kekalahan itu.

K: Maksud Bapak?
S: Beliau mengabarkan bahwa jumlah orang-orang baik di akhir zaman itu Cuma sedikit dan terasing (ghuroba’). Walaupun dalam hadits lain beliau mengabarkan bahwa jumlah orang Islam itu banyak, tapi mereka itu seperti buih, mereka itu asing dari agamanya, asing dari kebenaran. Yang benar menurut mereka asing, yang bathil menurut mereka benar. Bagaimana Ananda bisa menang, sementara orang yang tidak suka pada kebenaran itu lebih banyak, bahkan mereka dari kalangan ummat islam sendiri...

K: Bagaimana dengan berusaha sekuat tenaga, kampanye yang tiada henti, menggunakan seluruh fasilitas dakwah, tv, koran dan sebagainya?
S: Adakah kabar dari Rosululloh itu bisa berubah?

K: Kalau begitu, selain demokrasi, adakah cara dakwah lain yang bisa membuat jumlah orang baik sebanding atau mengalahkan jumlah orang jahat?
S: Tidak ada stu pun cara dakwah yang dapat menyeimbangkan angka tersebut, karena itu merupakn kabar dari Rosululloh. Di akhir zaman, orang-orang baik akan tetap sangat-sangat sedikit jumlahnya.

K: Lalu buat apa kita dakwah?
S: Kalau tujuannya untuk menang-menangan suara, maka kita tidak usah berdakwah, karena sudah pasti kit tidak akan pernah menang.

K: Lalu, dengan cara apa Ummat islam akan menang?
S: Yang jelas Ananda, bukan dengan meningkatnya jumlah orang baik dari orang jahat. Saya tidak pernah mendengar kabar seperti itu. Justru semakin menuju akhir zaman, orang-orang akan semakin rusak, biduanita dan minuman keras makin merajalela, mereka meminta menghalahkan segala sesuatu yang haram, termasuk alat-alat musik (lihat hadist Bukhari).

K: Jadi Pak, kalau bukan dengan jumlah, dengan apa Ummat Islam bisa menang?
S: Itulah Ananda. Di sini ada suatu hikmah yang sangat agung. Suatu hikmah yng hampir tidak pernah disadari oleh setiap muslim. Kemenangan akhir zaman itu suatu ketetapan yang telah dikabarkan oleh Rosululloh. Namun di sisi lain, beliau pun mengabarkan akan keterasingan dan sedikitnya jumlah orng-orang baik (benar) pada waktu itu. Dengan sedikit jumlah, berarti demokrasi tidak akan bisa mengantarkan kepada kemenangan Islam yang hakiki. Saya sangat berharap, bahwa kemenangan itu adalah kemenangan Al-Badr, yaitu kemenangan seperti pada perang Badr. Kemenangan yang gemilang, walaupun jumlah orang baik pada waktu itu Cuma sedikit.

K: Kapankah sebetulnya kemenangan hakiki itu akan datang Pak?
S: Yaitu pada munculnya Al-Mahdi, pada masa turunya kembali Nabiullah ’Isa ’alahissalam.

K: Lho, berarti kemenangan yang hakiki itu akan datang di akhir zaman, tidakkah ada kemenangan sebelum itu?
S: Wallahu’alam. Dari beberapa dalil yang ada, sebagian orang berusaha menyimpulkan bahwa setelah tumbangnya Kekhalifahan Turki Utsmani, maka ummat Islam akan mengalami suatu masa, dimana tidak akan ada lagi kekhalifahan yang sifatnya menyeluruh (mendunia). Ummat islam akan berada dalam perpecahan, kebodohan yang sangat, penindasan, banyak ulama-ulama su’yang mengajak ke lembah jahannam, digrogoti kaum kafir, dsb. Baru setelah itu akan datang kemenangan ditandai dengan berdirinya kekhalifahan Al-Mahdi yang akan berkuasa selama 40 tahun. Ternyata kemenangan itu pun Cuma sesaat. Cuma 40 tahun saja. Makanya yang palinng penting adalah bukan kemenangannya itu sendiri, melainkan bagaimana usaha kita dalam mewujudkan kemenangan itu sesuai dengan tuntunan Rasululloh (konsep nubuwwah) serta tidak mengorbankan akidah.

K: Jadi tidak ada kabar bahwa diantara masa itu akan ada suatu daulah atau kekhalifahan yang berhasil diperjuangkan baik dengan cara demokrasi atau cara-cara lainnya?
S: Hanya itu tentang Kemenangan Ummat islam di akhir zaman sejauh yang saya ketahui dari dalil-dalil yang ada. Yaitu kemenangan hakiki yang ditandai denagn berdirinya Kekhalifahan Al-Mahdi.


K: Kalau kemenangan itu akan datang pada saat orang baik sedikit, lalu apa rahasianya mereka bisa menang, Pak?
S: Tentunya karena mereka mematuhi wasiat Rasul. Wasiat untuk orang-orang yang hidup di akhir zaman

K: Apa Wasiat Beliau?
S: Wasiat yang telah kita diskusikan tadi pagi, yaitu wasiat untuk ruju’(kembali) kepada Kitabulloh, Sunnah Rosululloh, ngkan dan Sunnah Kulafaur Rasyidin, menggigitnya erat-erat dengan gigi geraham serta menjauhi semua kelompok (firqah) yang ada, walaupun harus mati dalam keadaan demikian (Lihat hadits-hadits tentang perpecahan umat).

K: Bagaimana dengan wasiat itu mereka bisa menang?
S: Karena wasiat itu membawa manusia kepada persatuan yang hakiki. Persatuan pemahaman terhadap sunnah yang haq, yaitu persatuan jasad dan ruh. Mereka senantiasa mengajak umat Islam untuk ’kembali’, yaitu dengan memberikan arahan menuju jalan pulang (tarbiyah), sekaligus memperbaiki ’jalan-jalan’ yang telah membawa mwreka pergi jauh dari sunnah itu (tasfiyyah). Wasiat itu senanatiasa mereka perjuangkaan dan terapkan, baik itu di masjid-masjid, majelis ta’lim, pada tempat harapan para kuntum dan kusuma Islam. Walaupun banyak orang menghinanya.

K: Tapi sesuai dengan uraian Bapak, cara itupun tidak akan membuat orang baik menjadi lebih banyak kan Pak?
S: Ananda benar. Ahlu sunnah itu akan tetap ghuraba(terasing) dan sedikit. Kita hanya berharap agar, walaupun jumlahnya sedikit, namun mereka akan ada di setiap penjuru desa. Berusaha agar senantiasa konsisten dalam mempersiapkan jalan menuju kemenangan, sampai wasilah untuk menuju kemenangan itu datang, kita berharap mereka yng sedikit itu akan cukup mampu menjadi motor untuk membangunkan kaum muslimin yang sedang tertidur....terlena dengan kehidupan dunia....Bangun untuk menyambut datangnya sang wasilah....

K: Wasilah apa itu Pak?
S: Itulah jihad akhir zaman. Jihadul Akbar dimana kaum muslimin akan berperang habis-habisan melawan Yahudi dan Nasrani.

K: Lalu, kenapa wasilah itu bisa datang dengan tiba-tiba?
S: Pada waktu perang Badr, Ummat Islam sangatlah sedikit. Mereka keluar dari kota Madinah bukan untuk berperang, persenjatan yang mereka bawa seadanya, hanya cukup untuk berjaga-jaga. Namun Allah menurunkan wasilah itu....

K: Adakah kisah ini dari Rasulullah?
S: Rasulullah bersabda:” Akan tetap ada sebagian dari ummatku yang senantiasa menampakkan al-haq, apabila mendapatkan penghinaan, mereka tidak merasa gentar, dan mereka tetap konsisten seperti itu, sampai datang ‘ keputusan’ Allah kepada.....(au kama qolla Rasulullah).


K: Pak Sholeh, dengan alasan-alasan yang Bapak kemukakan, sekarang saya minimal bisa menghargai pendapat orang-orang yang berbeda dengan saya. Yaitu orang-orang yang tidak setuju dengan demokrasi. Karena ternyata mereka pun mempunyai alasan yang tidak gampang dibantah. Mereka itu berpendapat bukan tanpa ilmu. Walaupun hati ini belum merasa puas, karena masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
S: Syukurlah kalau nak Khoirul memahaminya. Kita memang butuh tabayyun dengan orang-orang yang berbeda pendapat. Akan lebih baik lagi, kalau nak Khoirul langsung belajar dari kitab-kitab para ulamanya, tentu akan didapati alasan-alasan yang mempunyai sandaran Al-Qur’an dan Sunnah, daripada sekedar alasan dari saya yang dho’if.

K: Pak Sholeh, Bapak telah menjelaskan beberapa konsep Demokrasi. Bapak telah menjelaskan beberapa sifat Partai Allah. Bapak pun telah menjelaskan bagaimana kedudukan partai politik di dalam lingkaran besar kaum muslimin. Namun pak, kalau kita meninggalkan gelanggang politik, justru hal itu akan membuat parah kaum muslimin. Karena dengan demikian, kaum kafir akan masuk ke dalam parlemen. Mereka, bersama orang-orang Islam yang jahil, akan membuat undang-undang yang justru akan menyengsarakan kaum muslimin, akan mengganti dengan hukum-hukum Thagut yang lebih mengerikan. Presiden dan Gubernur akan dijabat oleh orang kafir. Apakah ummat Islam tidak berdosa secara fardhu kifayah? Apakah kita akan tinggal diam saja?

Hening......
Kali ini pemuda khoirul berargumrn cukup panjang. Pak Sholeh yang tadinya meladeni pertanyaan-pertanyaan dia dengan lancar, kini tiba-tiba wajahnya perlahan-lahan tertunduk lesu. Tatapannya merunduk, memandang permukaan karpet masjid yang sudah usang di makan usia. Raut wajahnya menampakkan kesedihan.... Nampak jelas usianya yang telah menginjak setengah baya. Bibirnya tertutup rapat. Jari telunjuknya memainkan butiran-butiran pasir di atas karpet. Memang, telah lama beliau memahami betul konsep demokrasi yang banyak bertentangan dengan Islam. Dengan mudah sekali Beliau bisa menjelaskan bagaimana demokrasi itu bertentangan dengan Islam. Bahkan bertentangan dengan semua agama. Karena Hak Asasi Manusia kadangkala atau bahkan senantiasa berbenturan dengan Hak Asasi ’Tuhan’, yang diatur dalam agama-agama. Namun kali ini Beliau dihadapkan dengan sebuah realita. Pertanyaan yang memaksa beliau terdiam cukup lama. Terlihat sekali berat dan susahnya Beliau menjawab pertanyaan ini. Seakan-akan beliau sedang merasakan kehilangan seorang ayah atau seorang ibu. Terlihat ada kaca-kaca air di matanya. Kaca-kaca air itu semakin terlihat jelas menggumpal. Lalu.....setetes air mata jatuh dari wajahnya yang masih tertunduk, beliau mengangkat wajah dan berkata lirih hampir tak terdengar.

S: Ananda, itulah puncak pertanyaan dari segala pertanyaan seputar demokrasi. Akan ananda rasakan, betapa tipis sekali batas jawabanya, kecuali bagi orang-orang yang memikirkannya dengan bashiroh dan kehati-hatian. Inilah dilema Ummat Islam yang saya namakan Dilema Simalakama.
K: Apa itu Simalakama?
S: Legenda tentang suatu jenis buah, yang apabila seseorang memakannya, maka bapaknya akan mati, kalau tidak dimakan ibunya akan mati. Suatu keputusan yang sulit di penuhi.

K: mengapa bisa begitu Pak Sholeh?
S: Karena Ummat Islam dihadapkan pada dua persoalan yang sangat bertolak belakang. Yang satu adalah masalah kemustahilan, yang kedua adalah masalah realita-realita.

K: Saya jadi tidak mengerti. Tolong Bapak jelaskan lebih rinci lagi.
S: Baiklah, tapi saya akan bertanya dulu kepada ananda. Tolong ananda jelaskan apa yang ananda fahami tentang ’kemenangan’ yang dijanjikan Rasulullah di akhir zaman bagi Ummat Islam.

K: Mmmm....yaitu berdirinya sebuah Daulah islamiyyah berbentuk kekhalifahan.....mmmm dan terealisasinya Hukum Islam secara kaffah.
S: cukup bagus. Kira-kira bagaimana hal itu bisa dicapai.

K: Mmmm....Saya tidak tahu....mmmm dengan diplomasi atau kompromi rasanya tidak mungkin .....mmm mungkin dengan jihad kali Pak.
S: Baiklah. Coba ingat-ingat kembali prinsip demokrasi. Yaitu prinsip menghargai perbedaan pendapat, adanya kompromi, dengan negoisasi dengan orang kafir, kompromi dengan orang Islam yang tidak faham islam, seperti para nasionalis, aktifis HAM, adanya sisten satu suara lawan satu suara, sementara jumlah orang yang benar itu kata Rasulullah Cuma sedikit. Menurut ananda, apakah mungkin Daulah Islamiyyah dan Hukum Islam kaffah tadi akan dapat ditegakkan dengan cara ini?

K: Mmm....rasanya koq tidak mungkin Pak...kalaupun mungkin...rasanya akan sangat lama sekali Pak...karena disana ada kompromi dan sikap menghargai pendapat orang lain....agama lain....aturan lain....
S: Nak Khirul, itulah yang saya maksud dengan ’kemustahilan’.

K: Tapi kalau kita meninggal demokrasi, bisa-bisa presiden kita akan dijabat oleh orang non-muslim, hukum-hukum bisa diganti oleh mereka dengan yang merugikan Islam. Bukankah begiitu?
S: Ananda benar. Namun tetap saja, apakah hal itu akan membawa kepada ’kemenangan’ seperti yang telah ananda definisakan tadi? Yaitu kemenangan hakiki, kemenangan yang kaffah?

K: Mustahil, karena disana ada kompromi dan toleransi.
S: Kalau mustahil, kenapa jalan itu tetap di tempuh?

K: Tapi, minimal kita telah berusaha untuk menyelamatkan kaum muslimin, walaupun saya tahu jalan itu tidak akan mencapai kemenangan yang hakiki kecuali dengan jihad.
S: inilah salah satu ’realita’ yang saya maksud.


S; Tadi ananda sebut-sebut tentang menyelamatkan kaum muslimin. Sekarang saya mau bertanya, siapa seharusnya yang harus ananda selamatkan di antara kaum muslimin itu?.

K: Tentunya yang paling penting adalah saya sendiri. Kemudian keluarga saya serta kaum muslimin seluruhnya. Kira-kira begitulah kalau saya urutkan menurut skala prioritas.
S: Baiklah. Lalu apa sih sebenarnya yang harus ananda selamatkan dari diri ananda, keluarga ananda dan kaum muslimin tadi.

K: Agar tidak jatuh kepada kesyirikan baik besar maupun kecil. Itu yang paling utama, karena itulah inti dakwah para Nabi. Hal itu menjadi yang paling utama, karena itu adalah masalah surga dan neraka. Allah telah berfirman:’ Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain itu, bagi siapa yang dikehendakiNya’.
S: Baiklah. Setelah masalah syirik, kira-kira prioritas apalagi yang harus ananda selamatkan dari diri ananda, keluarga dan kaum muslimin?

K: Kalau masalah surga dan neraka sudah terselamatkan, maka saya akan berusaha agar ibadah saya, keluarga saya dan kaum muslimin diterima oleh Allah. Adapun kuncinya Cuma dua, yaitu ikhlas dan ittiba’ dengan menyempurnakan seluruh ibadah sesuai sengan tuntunan Rasulullah.
S: Baiklah. Tadi saya telah jelaskan sebuah ’realita’ yang sedang dihadapi oleh umat islam, yaitu bahwa ummat islam terpaksa harus memilih sistem demokrasi. Sekarang ananda akan saya bawa kepada realita yang kedua.

K: Realita itu apa Pak?
S: Ananda telah katakan bahwa prioritas utama dalam menyelamatkan ananda sendiri, keluarga dan kaum muslimin seluruhnya adalah dengan menjauhkan syirik. Kira-kira langkah apa yang akan ananda tempuh untuk menyampaikan hal itu kepada ummat, yang mereka suka tahayyul, penuh dengan khurofat, suka berkunjung ke makam-makam keramat untuk berdo’a, jimat, jampi-jampi, perdukunan, mistik, dsb?

K: Tentu saya akan menyampaikannya dimanapun kesempatan itu datang pada saya, insya Allah.
S: Apabila kesempatan itu ada di depan parlemen, anggap saja anada memilih jalan itu, apakah ananda juga akan menyampaikannya? Mengusulkan kepada parlemen agar segera membuat aturan untuk melarang tour/ziarah ke kuburan-kuburan dan menutup pintu-pintu kemusyrikan?

K: Mmmmm...
S: Baiklah. Nampaknya ada yang sedang ananda pertimbangkan kalau anada harus menyampaikan hal itu di depan parlemen. Kalau begitu, bagaimana kalau kita turun ke jalan saja berdemonstrasi?

K: Mmmmm... Rasanya juga tidak mungkin Pak, karena hal itu justru akan memecahbelah kaum muslimin dan membenci partai saya.
S: Kalau begitu anada tidak konsisten. Bukankah tadi ananda katakan bahwa hal itu merupakan masalah surga dan neraka bagi ummat? Masalah yang menjadi prioritas pertama yang harus ananda selamatkan dari ummat? Dimanakah konsistensi ananda?

K: Bapak benar.
S: Selanjutnya ananda katakan bahwa prioritas yang kedua yang harus diselamatkan dari ummat adalah ibadah yang diterima oleh Allah dengan dua kuncinya yaitu ikhlas dan ittiba’. Ananda sudah tahu bahwa ummat ini telah berpecah belah dan banyak penyimpangan dalam peribadahan mereka. Ada yang sholat di kuburan, ada yang tahlilan, ada yang tidak perlu sholat kalau sudah sampai derajat tertentu (tarikat), ada yang menghalalkan musik padahal dalam hadits bukhari jelas-jelas Rasulullah mengharamkan alat-alat musik, ada yang memotong ayam lalu mengelilingkan darahnya pada rumah yang baru di bangun, istighosah dan do’a bersama dengan kaum kafir, ikut perayaan natalan, wanita karir dsb. Kira-kira jalan apa yang akan ananda tempuh untuk menyampaikan prioritas kedua ini kepada kaum muslimin?

K: Mmmmm...saya rasa hal-hal itu pun tudak mungkin bisa disampaikan melalui parlemen atau demonstrasi, karena tentunya akan memecahbelah ummat dan membenci partai saya. Lagipula itu kan masalah khilafiyyah.
S: Mengapa khilafiyyah?

K: Karena sebagian besar Ummat Islam Indonesia kan menganut madzab Syafi’i, sehingga bisa saja berbeda dengan madzab lain.
S: Ananda tidak perlu menyampaikan madzab lain. Ananda cukup meluruskan pemahaman mereka tentang madzab syafi’i yang mereka anut itu. Yaitu bahwa Imam Syafi’i mengharamkan segala jenis jimat, jampe, berdo’a di kuburan-kuburan, mengunjungi masjid-masjid yang ada kuburannya. Beliau tidak mengenal tahlilan. Beliau tidak mengenal siten tarikat. Beliau melarang berdo’a atau Istighosah bersama orang kafir, merayakan perayaan keagamaan mereka. Beliau mengharamkan musik, menyuruh wanita tinggal di rumah, dsb.

K: Mmmmm....
S: Baiklah. Kalau begitu, kapan dan dimana ananda merasa lebih nyaman untuk menyampaikan masalah-masalah itu kepada ummat?

K: Mungkin di masjid-masjid, majlis ta’lim, madrasah, pesantren...
S: Justru tempat itulah yang dihinakan oleh orang-orang yang mengagungkan dakwah lewat parlemen. Seolah-olah parlemen adalah tempat yang mulia untuk berdakwah. Mereka menghinakan orang yang berdakwah dari masjid ke masjid, seolah melupakan permasalahan ummat...Padahal siapa sebenarnya yang melupakan atau pura-pura lupa akan ’permasalahan terpenting’ ummat?

K: Mmmmm....
S: Baiklah, bagaimana kalau ananda menyampaikannya di dalam kampanye sewaktu berkunjung ke daerah-daerah?

K: Maksud Bapak menyampaikan masalah syirik dan penyimpangan ibadah dalam kampanye?
S: Ya. Karena kata ananda itu adalah prioritas pertama dan kedua.

K: Tentu baru beberapa menit mereka akan lari Pak.
S: Kalau begitu, materi apa yang akan ananda sampaikan dalam kesempatan kampanye itu?

K: Tentang program kristenisasi, tentang ketidakadilan, tentang korupsi, tentang pornografi, tentang harga-harga yang naik terus, tentang pengangguran, dan masih banyak lagi.
S: Ananda sungguh tidak konsisten.
K: Kenapa begitu Pak?
S: Karena tadi ananda mengatakan bahwa prioritas dakwah yang harus disampaikan kepada ummat adalah syirik, kemudian yang kedua adalah cara beribadah yang benar.
K: Dalam kampanye kan kita harus terlebih dahulu menyentil ummat dengan masalah-masalah seputar mereka agar mereka setuju dengan kita lalu menyerahkan suaranya pada kita. Sehingga kita bisa membela mereka di hadapan parlemen.
S: Apa yang akan ananda bela di hadapan parlemen? Apakah ananda akan meminta parlemen untuk mengampuni kesyirikan mereka, penyimpangan ibadah mereka?

***

K: Mengenai masalah tauhid/syirik dan penyipangan ibadah, walaupun itu menjadi prioritas dakwah, tapi masih bisa disampaikan oleh rekan-rekan dari divisi dakwah pada kesempatan yang lain.
S: Sebenarnya pada poin ini ananda sudah tidakm konsisten terhadap prinsip-prinsip ananda sendiri. Tapi baiklah, kalau seandainya itu merupakan tanggung jawab dari divisi dakwa. Akan tetapi, divisi dakwah partai manakah yang lantang menyerukan pemberantasan kesyirikan han penyipangan ibadah? Partai islam manakah yang berani menentang masuknya paham syi’ah ke Indonesia? Hampir semua divisi dakwah mengatakan bahwa kita harus bertoleransi demi menjaga keutuhan ummat. Apakah mereka berusaha menutup mata ketika ahlussunnah di bantai di negara yang mayoritas Syi’ah, ulamanya dipenjara dan disiksa? Apa sikap ananda terhadap mereka? Padahal mereka itu senantiasa menghujat para shahabat Nabi?Bagaimana kalau banyak kaum muda yang tertarik masuk syi’ah? Sungguh ananda tidak sedang berusaha membela agama ananda, tidak berupaya memurnikan Islam. Ananda tidak sedang menyelamatkan ummat ini, apa sebenarnya yang sedang ananda selamatkan?

K: Mmmm...
S: Baiklah, katakanlah ternyata ada divisi dakwah sebuah partai yang berani berkata seperti itu, walaupun saya belum melihatnya di Indonesia saat ini. Lalu, manakah yang lebih baik, berdakwah dengan membawa-bawa nama partai, berbaju dengan baju partai, atau berdakwah yang tidak mengatasnamakan kelompok tertentu. Kira –kira manakah dakwah yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia? Dan lebih dicintai Allah?

***
S: Ananda, justru tanggungjawab ada di pundak ananda sebagai juru dakwah. Saat kampanye, adalah saat ananda pertama kali berjumpa dengan kaum muslimin dan mungkin tedak akan pernah lagi ananda berjumpa dengan mereka. Mengapa ananda tidak berusaha menyelamatka mereka dengan hal-hal yang pokok? Padahal masalah sesungguhnya yang hakiki yang sedang menyelimuti mereka adalah sesuatu yang akan menjerumuskan mereka ke dalam neraka? Yitu syirik dan penyimpangan ibadah. Adakah masalah yang lebih besar dari itu sehingga ananda mengesampingkannya? Inilah yang saya maksud dengan realita yang kedua.
K : Pak Sholeh, apa yang akan Bapak nasehatkan untuk diri saya?
S : Ananda, demokrasi adalah sesuatu yang dharuri. Begitu (bahkan) kata sebagian ulama yang membolehkan demokrasi. Namun herannya ada diantara kaum muslimin yang bangga dengan julukan pejuang-pejuang demokrasi. Padahal, apabila melihat prinsip-prinsip demokrasi, maka semakin suatu negara menuju pada kesempurnaan demokrasi, maka setiap orang akan semakin bebas untuk mengeluarkan ide dan pendapatnya.
Ananda, sekarang ananda tinggal memilih salah satu dari dua jalan. Ada jalan demokrasi dan ada jalan nubuwwah. Namun keduanya bagaikan keping mata uang yang saling bersebrangan. Yang satu penuh toleransi dan ada padanya pengorbanan akidah, yang satunya penuh ketegasan dan lebih dekat kepada terselamatkannya akidah. Tentu pada kedua jalan itu ada kesempatan kita untuk beribadah dan berjuang untuk maksimal. Pada keduanya juga ada manfaat bagi kaum muslimin, tergantung jenis manfaat apa yang akan diperjuangkan. Gunakan bashiroh serta hikmah yang mendalam. Ananda bebas memilih salah satu dari kedua jalan itu. Pilhlah jalan yang dapat menyelamatkan ananda sendiri dan kaum muslimin dari adzab neraka, serta bermanfaat bagi negara Islam dengan membela ’kemurniannya’. Juga nasehat saya, takutlah untuk melanggar/ mengorbankan hukum-hukum Allah dalam memperjuangkan kebenaran tersebut.
Apapun yang menjadi keputusan ananda, maka hal itu tidak boleh menyebabkan perpecahan dengan orang yang berseberangan dengan ananda. Apalagi tentunya jika saudara memilih jalan demokrasi, ananda tentu lebih bisa menghargai pendapat orang lain. Persatuan tetap merupakan perintah dari Allah. Berta’awuun untuk amar ma’ruf nahi munkar bersama setiap orang Islam tetap merupakan perintah Allah.

Tak terasa waktu sudah mendekati adzan maghrib. Kebetulan terlihat Pak Ahmad (ketua salah satu partai Islam) datang ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat maghrib. Mereka berdua segera menghampirinya. Pemuda khoirul membuka percakapan:

K : Assalamu’alaykum Pak Ahmad?
Pak Ahmad (A): Wa’alaikumussalam. Eh Nak Khoirul dan Pak Sholeh. Apa kabar nih?
K : Alhamdulillah kami berdua baik-baik saja. Maaf kami berdua sengaja menghampiri Bapak untuk menyampaikan sesuatu.
A : Ah, kok terasa formal sekali. Apa yang akan ananda sampaikan Nak Khoirul. Jangan membuat Bapat kaget ya!!!
K : Tidak Pak. Kami Cuma ingin menyampaikan bahwa dalam menghadapi Program kristenisasi ’Jusuf 2004’ ini, saya dan Pak Sholeh siap menyampaikan masalah ini di masjid-masjid, majlis ta’lim, pesantren-pesantren yang biasa kami dakwah di dalamnya.
A : Masya Allah...Masya Allah... Bapak sangat bersyukur sekali Nak Khoirul. Ini merupaka suatu nikmat yang paling berharga yang Bapak peroleh hari ini. Mudah-mudahan keinginana ananda dan Pak sholeh diridhoi Allah. Teman-teman di partai akan senang sekali mendengarnya. Oya, apakah ini berarti Nak Khoirul dan Pak Sholeh akan bergabung dengan partai kami, memakai baju kami?

Pemuda Khoirul tidak menjawab. Kedua matanya beradu tatapan dengan Pak Sholeh. Saling memandang dan terdiam bisu. Dia tidak bisa menjawab. Teringat semua argumentasi Pak Sholeh tentang demokrasi. Tentang bagaimana prinsip bebas berpendapat, menghargai pendapat, yang justru akan memberikan kesempatan bagi orang jahat untuk menghalangi kebenaran dengan mengatasnamakan HAM, tentang bagaimana setiap partai harus mendulang suara, padahal jumlah orang baik di akhir zaman itu hanya sedikit. Teringat kembali betapa akan banyak pencampuran antara yang hak dan yang batil. Teringat kembali akan sifat-sifat hizbullah (partai Allah), yang diantaranya adalah keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesama. Teringat akan adanya kemustahilan dalam pencapaian kemenangan melalui kompromi dan toleransi. Teringat bagaimana kemenangan hakiki itu yang bisa dipetik hanya dengan jihad, bukan dengan kompromi atau toleransi. Teringat akan adanya realita-realita. Teringat akan kaum muslimin yang sedang berkubang dalam lumpur syirik dan penyimpangan ibadah. Teringat bagaimana demokrasi akan menghambat penyampaian kebenaran dengan alasan persatuan ummat. Teringat akan persatuan ummat secara jasadi warruhi. Teringat akan wasiat Rasulullah kepada orang-orangyang hidup di akhir zaman untuk ruju’ (kembali) kepada kitabullah, Sunnah Rasul dan ijma para shahabat. Terngat akan makna ’kembali’, yaitu dengan menyampaikan pendidikan kepada ummat (tarbiyyah) dan memurnikan agama Islam (tashfiyyah)

Adzan Maghrib nyaring berkumandang. Pemuda khoirul belum juga menjawab pertanyaan pak ahmad. Dirasanya betul bagaimana reaksi Pak Ahmad kalau dia harus mengatakan ’tidak’. Tentu akan panjang sekali penjelasan yang harus disampaikan, akan sulit sekali difahami, dikaji dan diputuskan, akan ada kembali sebuah diskusi yang panjang dan melelahkan, diskusi tentang sebuah dilema bagi ummat islam. Dilema yang seolah didalamnya ada kebaikan namun ada juga keburukan yang ganas. Dilema yang menjadi perdebatan kaum muslimin di akhir zaman. Dilema yang terkadang menjadikan perdebatan menjurus kepada tidak saling menghargai pendapat. Itulah dilema yang butuh kehti-hatian dan bashiroh yang mendalam dalam memahaminya. Dilema yang butuh hikmah dalam menjawabnya. Dilema Simalakama!

Kamis, 24 Februari 2011

kata cinta...^^


Cinta..bagaikan lautan..
sunggh luas&indah..
ktika Qt trsentuh tepiny yg
sejuk..
ia mengundang utk
melngkah lebih jauh
ketengah..
yg penuh
rintangan&gelombang..
...
tpi..carilah cinta yg sejati..
dilautan cinta berbiduk
taqwa..
berlayarkan iman..
berpandukan
AlQur'an&AsSunnah..
insyaAllah smpai kpd
tujuan..
yaitu cinta krn Allah..
mengharap ridha Allah..!
Hasbunallah wani'mal wakiil
Ibnu Taimiyah: "Tdk akn ada
rsa cinta yg dmiliki makhluk
yg lbh bsar &smpurna dr
cinta org2 mukmin kpd
Alloh, Dan tdk ada d alam
ini yg terlalu dcintai karena
dzat-Nya slain Alloh. Dan
sesuatu slain Alloh yg
dcintai mk cintanya mngikuti
cinta Alloh"

Jumat, 18 Februari 2011

potret wanita shalihah........^^

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bagi seorang perempuan yang bersuami untuk membelanjakan harta pribadinya (tanpa seizin suaminya)” (HR Abu Daud no 3546, Nasai no 3756, Ibnu Majah no 2388 dan dinilai al Albani sebagai hadits hasan shahih).
Mungkin hadist ini telah melekat di hati seorang isteri sekaligus seorang ibu, sebut saja ia bernama ummu zahrah.
Pada suatu hari beliau ditelp oleh seorang sahabat karib beliau yang mana sahabat beliau ini berjualan gamis dan kerudung (sebuah pakaian penutup aurat yang syar’i).
Assalamu’alaikum…. ya ukhti.. afwan mengganggu, ana sedang menyelesaikan sebuah jahitan gamis (jilbab) dan kerudung (khimar), mungkin ukhti mau memilih salah satu dari hasil jahitan tangan ana, insya Allah kalo tidak keberatan nanti ba’da ashar ana ke rumah ukhti”, kata sahabat karibnya ummu zahra via telp.
Wa’alaikumussalam wr wb ya ukhti…. wah subhanallah… anti sangat rajin sekali ya menjahit, syukron atas tawarannya ya ukhti, namun afwan, suami ana sedang tidak di rumah hari ini, ana tidak tahu apakah suami ana ridha atau tidak jakalau ana pesan atau membeli jilbab dan kerudung tersebut tanpa sepengetahuannya”, kata ummu zahrah.
Subhanallah, untuk membeli sebuah pakaian penutup aurat saja ummu zahrah tidak mau melakukannya. Beliau sadar bahwa Islam melarang seorang isteri membelanjakan harta tanpa sepengentahuan dari suaminya.
Sauadaraku, timbullah pertanyaan yang melintas di benak kita, berapa banyak wanita yang ada seperti beliau di zaman ini? Berapa banyak wanita yang patuh akan suaminya? Dan timbul pertanyaan pula seberapa banyak wanita yang meneriakan apa yang disebut sebagai sebuah kebebasan. Apalagi kita hidup dizaman sistem kufur demokrasi, dimana kebebasan merupakan sebuah ”harga mutlak” pada setiap perbuatan penganut paham ini. Iyah…. kebebasan berpnedapat, kebebasan menentukan nasib, kebebasan berskpresi, kebebasan yang kebablasan.
Mereka berlomba-lomba mengeskpresikan diri dimkancah publik (diluar rumah) dengan tanpa memperdulikan bahaya dan mudharat yang senantiasa mengintai. Tak hirau dengan pendidikan anak-anaknyadi rumah. Enggan berfikir apakah amanah suami berupa kehormatan diri dan keluarganya terjaga atau tidak. Tidak pernah peduli apakah suaminya ridha ataukah tidak. Naudzubillahi min dzalik.
Cernalah kata-kata dari Ummu Zahrah kepada suaminya, ”Abi, Umi ikhlas dengan apapun yang abi berikan kepada umi dan anak-anak kita, Umi tidak menuntut harta yang melimpah, Umi hanya menginginkan agar Abi menjadi Imam Umi dan keluarga dalam mencari keridhaanNya semata ya Abi. Jika suatu hari nanti Abi menyimpang dari syari’at Allah maka jangan salahkan Umi jika saat itu Umi meminta Abi mentalak Umi jika Abi tidak bertobat kepadaNya.”
Subhanallah… begitulah seharusnya sikap seorang wanita yang benar-benar memiliki sebutan sebagai wanita shalihah. Seorang wanita yang sebagai isteri betul-betul mengharapkan ridhaNya Allah dalam berumahtangga. Serta mengingatkan suaminya dikala terjatuh pada jalan yang keluar dari jalurnya.
K.H. Abdullah Gymnastiar pernah berkata, ”Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah. Aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri”
Dalam Al-Quran surat An-Nur: 30-31, Allah Swt. memberikan gambaran wanita shalihah sebagai wanita yang senantiasa mampu menjaga pandangannya. Ia selalu taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up- nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah dzikir kepada Allah. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al-Quran.
Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia “polos” tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukkan hati orang-orang di sekitarnya.
Wanita shalihah sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Tidak ada dalam sejarahnya seorang wanita shalihah centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah).
Sebuah kisah kecil akan menutup dan melengkapi tulisan ini.
Ummu Zahrah mengandung anak ke duanya, dengan penuh kasih sayang dan perhatian sang suami bertanya kepada isterinya, ”Umi, apa tidak ingin ke dokter saja untuk USG?” lalu apa jawaban dari isterinya, ”Abi, sedikitpun Umi tidak pernah berprasangkan buruk kepada Allah SWT.” Subhanallah…..
~Wanita shalihah idaman mujahid shalih yang malunya menjadi perisai dirinya, dzikirnya menjadi penawar dirinya, tak gentar di kancah godaan duniawi karena rindukan wangian syurgawi, dia berpegang pada janji yang terpatri di lubuk hati…
Telah di nukilkan panduaan sepanjang zaman, itulah lirikan utama buatmu memilih calon isteri. Tiap baris itu telah menjadi hafalanku sejak aku mengenal dunia baligh ini.~