Baru menikah beberapa waktu yang lalu. Bulan madu belumlah berlalu, bau pengantinpun masih membiru. Adaptasi dengan suami masih sedang dilalui, belajar berumah tangga sedang dirasa. Silaturrahim sembari berkenalan dengan ummahat dan akhwat didaerah baru terus berjalan.
Adakalanya
seorang ummahat baru,jauh-jauh hari sebelum nikahnya, sudah ditunggu oleh
ummahat lama dan akhwat yang jumlahnya cukup banyak yang tinggal didaerah
suaminya. Suatu tugas yang tidak kecil, kehadirannya sudah lama ditunggu, tugas
dakwah telah menanti, majlis akhwat dan ummahat telah disediakan dan taman
kanak-kanakpun telah disiapkan.
Adakalanya seorang ummahat baru, ikut suami
keluar daerah, disana ada beberapa ummahat dan akhwat yang jumlahnya bisa
dihitung dengan jari. Suatu tantangan yang tidak ringan, tantangan membina
ummahat, meskipun pengalaman berumah tangganya seadanya. Tantangan merekrut
akhwat, meski ilmu diennya sedikit. Tantangan membuka TPQ, meski kemampuan
mengajar anak pas-pas an.
Adakalanya seorang ummahat baru dibawa jauh oleh suaminya keluar kota, disana sendirian tidak ada ummahat dan juga tidak ada akhwat. Sebuah perjuangan yang tidak mudah. Perjuangan merintis sebuah pengajian ummahat, perjuangan membuka halaqoh akhwat mencari peluang untuk mendirikan kelompok belajar dan bermain anak.
Perasaan menyesal terbersit dihati ummahat baru, mengapa dulu tidak intensif belajar ulumuddien. Sekarang baru terasa, saat dibutuhkan mengisi dan member ta’lim. Sementara setelah menjadi ummahat waktu senggang untuk belajar semakin sedikit.
Perasaan “getun” hinggap dihati ummahat baru,
mengapa dulu tidak aktif secara maksimal memberdayakan diri,. Sekarang baru
terasa, saat dituntut membina halaqoh dan mengelola tarbiyah. Sementara waktu
untuk berlatih sudah tidak ada, tidak ada cara lain kecuali mengandalkan
pengalaman aktivitas dakwah semasa munfaridah. Perasaan “ngajog” muncul di
ummahat baru. Mengapa dulu dulu tidak rajin membaca buku kesehatan dan
tarbiyatul aulad serta tidak tekun mengelola TPA. Sekarang baru terasa, saat
didaulad untuk menangani pendidikna formal anak-anak ikhwan.
Selagi masih sendiri, hendaknya akhwat intensif belajar ‘ulumuddien. Belajar bahasa arab, memperbaiki tajwid, dan memperbanyak hafalan alquran. Jangan malas ta’lim dan sering ”mbolos” dari ma’had diniyah. Ketika masih dara, hendaknya akhwat hendaknya memberdayakan diri. Belajar “sedikit” tentang manajemen, harokah islamiyahdan fiqhud da’wah. Aktif dari berbagai kepanitiaan, diskusi dan dauroh. Jangan malas berlatih, “lede-lede” dan “kuper”. Senyampang masih lajang, hendaknya akhwat rajin membaca buku kesehatan dan jangan gengsi mengajar TPQ. Itu semua akan bermanfaat, ketika akhwat kelak menjadi ummahat, apalagi bila berada didaerah sepi tanpa sejawat.setiap ummahat baru harus siap menjadi perintis.
Selamat berjuang ummahat perintis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar